Tuesday, January 10, 2017

Makalah Masa Kejayaan Islam

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menulis makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan tanpa ada hambatan yang berarti. Shalawat serta salamnya semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya, dan juga kepada kita semua selaku umatnya yang insya Allah selalu mengikuti ajaran sunahnya.
 
Makalah ini merupakan hasil observasi dan merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran “ Pendidikan Agama Islam “ di SMA NEGERI 58 Jakarta. 

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, dan jauh dari sempurna, itu di karenakan keterbatasan yang kami miliki, karena kami masih tahap belajar. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada ALLAH lah kami pasrahkan semua,karena kebenaran hanyalah milik-Nya.

Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca sekalian Terutama untuk kelas kami tercinta.

Jakarta, 9 November 2013

Penyusun Makalah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seperti perabadan lain, Islam juga mengalami beberapa periode dalam sejarah. Ada satu periode dimana Islam bisa menunjukan eksistensinya di Eropa bahkan dunia. Periode tersebut terjadi pada saat para filsuf, ilmuwan, dan insinyur muslim bisa memberikan banyak konstribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan. Mereka melakukannya baik dengan menjaga tradisi yang telah ada maupun dengan menciptakan penemuan-penemuannya sendiri.

Sebaliknya, bangsa Eropa waktu itu justru sedang berada di zaman kegelapan (dark ages), dimana dominasi gereja sangatlah besar sehingga setiap kebenaran (ilmu pengetahuan) harus sesuai dengan paham gereja. Apabila ada yang menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan gereja, maka akan mendapatkan hukuman bahkan sampai dibunuh. Hal tersebut menyebabkan terisolasinya ilmu pengetahuan dari manusia. Padahal sekitar tahun 300 SM, peradaban Eropa sudah dibangun sedemikian rupa oleh bangsa Yunani dan Romawi. Ilmuan-ilmuan Yunani mengembangkan filsafat, sementara orang Romawi mengembangkan birokrat.

Ketika Eropa sedang berada dalam masa kegelapan, masyarakat Islam justru mengalami kemajuan dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Mereka mengambil ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan Romawi kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab. Selain itu, perkembangan Islam juga dihubungkan dengan letak geografis. Sebelum Islam datang, kota Mekah merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW sendiri juga berasal dari golongan pedagang. Tradisi Ziarah Mekah membuat kota itu menjadi pusat pertukaran gagasan dan barang. Pengaruh yang dipegang oleh para pedagang muslim dalam jalur perdagangan Afrika-Arab dan Asia-Arab sangat besar dan penting. Hal tersebut membuat peradaban Islam tumbuh, berkembang dan meluas dengan berdasarkan perekonomian dagangnya.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan Masalahnya meliputi :
a. Bagaimana peruses masa kejayaan islam?
b. Bagaimana cara Islam berkembang?
c. Siapa saja tokoh – tokoh pada masa kejayaan islam ?

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini kami buat untuk memenuhi Tugas Agama Islam dimana yang Insya Allah akan dipresentasikan untuk bahan diskusi menjelang semester ganjil 2014/2015. Ada pun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu : Untuk mengingat kembali tentang bagaimana masa kejayaan Islam, untuk mengetahui bagaimana masa kejayaan islam. Dan mengetahui sederetan tokoh-tokoh masa kejayaan islam dsb.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa Kejayaan Islam yang Dinantikan Kembali

Selama 500 tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister). 

Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa (Montgomery Watt). Peradaban berhutang besar pada Islam (Barack Obama). Masa Kejayaan Islam yang Dinantikan Kembali Tajmahal Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa siapa pun sesungguhnya tak akan bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.

Lalu, di manakah kejayaan itu saat ini? Islam masa lalu yang gemilang, yang telah banyak memengaruhi peradaban umat manusia di dunia ini. Memang merupakan sebuah realitas sejarah. Dengan “mengenang” kembali masa-masa kejayaan dulu, diharapkan umat Islam secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran peradaban Islam masa lalu sekaligus mengembalikan potensi untuk hadir pada masa kini dan masa yang akan datang untuk yang kedua kalinya.

Karena itu, selain meretrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, diharapkan ada upaya untuk memproyeksi sekaligus merekonstruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekuler saat ini. Peradaban sekuler itu sekarang sesungguhnya mulai tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.

Waktu bergerak maju dan tidak pernah mundur. Begitu juga peristiwa sejarah. Kita sebagai manusia yang diberi akal, pastinya harus mengingat, apa yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana kejadiannya. Akal bisa memprediksi kejadian yang akan datang dengan belajar dari masa lalu.

2.2 Periodisasi Sejarah Islam

Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib. 

Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah. 

Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut. 

Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Utsmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20. 

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu. 

Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu:

a. Periode klasik (650-1250 M);

Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); kedua: fase disintegrasi,

b. periode pertengahan (1250-1800 M);

periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu; fase kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M),

c. periode modern (1800-dan seterusnya).

Sedang periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.

2.2 Masa Kejayaan Islam

Masa kejayaan Islam terjadi pada sekitar tahun 650‒1250. Periode ini disebut Periode Klasik. Pada kurun waktu itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Umayyah atau sering disebut Daulah Umayyah dan Kerajaan Abbasiyah yang sering disebut Daulah Abbasiyah.

Pada masa Bani Umayyah, perkembangan Islam ditandai dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan berdirinya bangunan-bangunan sebagai pusat dakwah Islam. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi: bidang politik, keagamaan,ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer.

Sementara perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer.

Tentu saja kemajuan umat Islam baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah terjadi tidak secara tiba-tiba. Akan tetapi, ada penyebabnya, yaitu disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal antara lain:
1. konsistensi dan istiqamah umat Islam kepada ajaran Islam,
2. ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk maju,
3. Islam sebagai rahmat seluruh alam,
4. Islam sebagai agama dakwah sekaligus keseimbangan dalam menggapai kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Faktor eksternal antara lain seperti berikut.

1. Terjadi Asimilasi 

Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting di bidang pemerintahan. Selain itu, mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Adapun pengaruh Yunani masuk melalui berbagai macam terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

2. Gerakan Terjemah

Pada masa Periode Klasik, usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi,kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.

Selain faktor tersebut di atas, kejayaan Islam ini disebabkan pula oleh adanya gerakan ilmiah atau etos keilmuan dari para ulama yang ada pada Periode Klasik tersebut antara lain seperti berikut.
1. Melaksanakan ajaran al-Qur’ān secara maksimal, di mana banyak ayat dalam al-Qur’ān yang menyuruh agar kita menggunakan akal untuk berpikir.
2. Melaksnakan isi hadis, di mana banyak hadis yang menyuruh kita untuk terus-menerus menuntut ilmu, meskipun harus ke negeri Cina. Bukan hanya ilmu agama yang dicari, tetapi ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini.
3. Mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad, ilmu pengetahuan umum dengan mempelajarai ilmu filsafat Yunani. Maka, pada saat itu banyak bermunculan ulama fiqh, tauhid (kalam), tafsir, hadis, ulama bidang sains (ilmu kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, geografi), dan lain-lain.
4. Ulama yang berdiri sendiri serta menolak untuk menjadi pegawai pemerintahan.

2.3 Tokoh-Tokoh pada Masa Kejayaan Islam

Banyak sekali tokoh Islam yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Di sini akan dijelaskan sebagian biografi beberapa tokoh secara singkat. Selanjutnya, tokoh-tokoh yang tidak dijelaskan biografinya, bisa dicari melalui buku-buku lain yang membahasnya. Berikut ini tokoh-tokoh muslim yang telah menyumbangkan karyanya untuk peradaban umat manusia.

1. Ibnu Rusyd (520‒595 H)

Ibnu Rusyd merupakan salah satu tokoh pada masa kejayaan Islam. Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, lahir di Cordova (Spanyol) pada tahun 520 H. dan wafat di Marakesy (Maroko) pada tahun 595 H. Beliau menguasai ilmu fiqh, ilmu kalam, sastra Arab, matematika, fisika astronomi, kedokteran, dan filsafat. Karya-karya beliau antara lain: Kitab Bidayat Al- Mujtahid (kitab yang membahas tentang fiqh), Kuliyat Fi At-Tib (buku tentang kedokteran yang dijadikan pegangan bagi para mahasiswa kedokteran di Eropa), Fasl al-Magal fi Ma Bain Al-Hikmat wa Asy-Syariat. Ibnu Rusyd berpendapat antara filsafat dan agama Islam tidak bertentangan, bahkan Islam menganjurkan para penduduknya untuk mempelajari ilmu Filsafat.

2. Al-Ghazali (450‒505 H)

Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh pada masa kejayaan Islam. Nama lengkapnya Abu Hamid al-Ghazali, lahir di Desa Gazalah, dekat Tus, Iran Utara pada tahun 450 H dan wafat pada tahun 505 H di Tus juga. Beliau dididik dalam keluarga dan guru yang zuhud (hidup sederhana dan tidak tamak terhadap duniawi). Beliau belajar di Madrasah Imam AI-Juwaeni. Setelah beliau menderita sakit, beliau ber-khalwat (mengasingkan diri dari khalayak ramai dengan niat beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt.) dan kemudian menjalani kehidupan tasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Jerusalem, Mekah, Madinah, dan Tus. Adapun jasa- jasa beliau terhadap umat Islam antara lain sebagai berikut. 

1. Memimpin Madrasah Nizamiyah di Bagdad dan sekaligus sebagai guru besarnya.
2. Mendirikan madrasah untuk para calon ahli fiqh di Tus.
3. Menulis berbagai macam buku yang jumlahnya mencapai 288 buah, mengenai tasawwuf, teologi, filsafat, logika, dan fiqh. 

Di antara bukunya yang terkenal, yaitu Ihya 'Ulum ad-Din, yakni membahas masalah-masalah ilmu akidah, ibadah, akhlak, dan tasawwuf berdasarkan al- Qur'an dan hadis. Dalam bidang filsafat, beliau menulis Tahafut al-Falasifah (tidak konsistennya para filsuf). Al-Ghazali merupakan ulama yang sangat berpengaruh di dunia Islam sehingga mendapat gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran Islam).

3. AI-Kindi (805‒873 M)

Al-Kindi merupakan salah satu tokoh pada masa kejayaan Islam. Nama lengkapnya Yakub bin Ishak AI-Kindi, lahir di Kufah pada tahun 805 M dan wafat di Bagdad pada tahun 873 M. AI-Kindi termasuk cendekiawan muslim yang produktif. Hasil karyanya di bidang-bidang filsafat, logika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, musik, dan matematika. Beliau berpendapat, bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama karena sama-sama membicarakan tentang kebenaran. Beliau juga merupakan satu-satunya filosof Islam dari Arab. Ia disebut Failasuf al-Arab (filosof orang Arab).

4. AI-Farabi (872‒950 M)

Al-Farabi merupakan salah satu tokoh pada masa kejayaan Islam. Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlag AI-Farabi, lahir di Farabi Transoxania pada tahun 872 M dan wafat di Damsyik pada tahun 950 M. Beliau keturunan Turki. Al-Farabi menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain: logika, musik, kemiliteran, metafisika, ilmu alam, teologi, dan astronomi. Di antara karya ilmiahnya yang terkenal berjudul Ar- Royu Ahlul al-Mad3nah wa aI-Fad3lah (pemikiran tentang penduduk negara utama).

5. Ibnu Sina (980‒1037 M)

Ibnu Sina merupakan salah satu tokoh pada masa kejayaan Islam. Nama lengkapnya Abu Ali AI-Husein Ibnu Abdullah Ibnu Sina, lahir di Desa Afsyana dekat Bukhara, wafat dan dimakamkan di Hamazan. Beliau belajar bahasa Arab, geometri, fisika, logika, ilmu hukum Islam, teologi Islam, dan ilmu kedokteran. Pada usia 17 tahun, ia telah terkenal dan dipanggil untuk mengobati Pangeran Samani, Nuh bin Mansyur. Beliau menulis lebih dari 200 buku dan di antara karyanya yang terkenal berjudul Al-Qanun Fi At-Tibb, yaitu ensiklopedi tentang ilmu kedokteran dan Al-Syifa, ensiklopedi tentang filsafat dan ilmu pengetahuan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Selama 500 tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi. Periode tersebut terjadi pada saat para filsuf, ilmuwan, dan insinyur muslim bisa memberikan banyak konstribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan. Mereka melakukannya baik dengan menjaga tradisi yang telah ada maupun dengan menciptakan penemuan-penemuannya sendiri.

Sekitar 750 M - sek. 1258 M adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur di Dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka sendiri. Banyak dari perkembangan dan pembelajaran ini dapat dihubungan dengan geografi. Bahkan sebelum kehadiran Islam, kota Mekahmerupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab dan Muhammad sendiri merupakan seorang pedagang.

Banyak sekali tokoh Islam yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu yaitu: Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, AI-Kindi, AI-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Sina.

DAFTAR PUSTAKA

Buku BSE Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK
http://id.wikipedia.org/
http://www.google.com/
http://khoiruroji.blogspot.com/
http://pandidikan.blogspot.com/2010/12/periodesasi-sejarah-islam.html
 
 
 
 
 

MAKALAH KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan hidayah-Nya, kami dapat menyusun Makalah tentang Konsep Kepemimpinan dalam Islam. 

Makalah ini disusun melalui beberapa tahapan proses, yakni mulai dari penyiapan materi, penyusunan materi secara tertulis. Makalah yang telah disusun ini merupakan hasil kegiatan kelompok belajar mahasiswi Politeknik Negeri Jember. Namun demikian, Karena dinamika perubahan di dunia masyarakat begitu cepat terjadi, maka makalah ini masih akan dimintakan masukan untuk bahan perbaikan atau direvisi agar selalu relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat.. 

Saya mengharapkan saran dan kritik dari dosen Pengajar Pendidikan Agama Islam di Politeknik Negeri Jember sebagai bahan untuk melakukan peningkatan kualitas makalah ini. Diharapkan berpegang pada azas keterlaksanaan, kesesuaian, dan fleksibelitas dengan mengacu pada perkembangan IPTEK. 

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah SWT kemuka bumi ini, sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini, oleh sebab itu maka manusia tidak terlepas dari perannya sebagai pemimpin, dimensi kepemimpinan merupakan peran sentral dalam setiap upaya pembinaan. Hal ini telah banyak dibuktikan dan dapat dilihat dalam gerak langkah setiap organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan seringkali menjadi ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu organisasi. Dalam menyoroti pengertian dan hakikat kepemimpinan, sebenarnya dimensi kepemimpinan memiliki aspek-aspek yang sangat luas, serta merupakan proses yang melibatkan berbagai komponen didalamnya dan saling mempengaruhi. 

Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal dalam diri seseorang. 

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. 

Hidup dalam berkelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia. 

Untuk mewujudkan nya dibutuhkan sosok seorang panutan yang dapat di andalkan.Sosok itu dapat disebut dengan pemimpin.Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. 

Dewasa ini kita tengah memasuki Era Globalisasi yang bercirikan suatu interdependensi, yaitu suatu era saling ketergantungan yang ditandai dengan semakin canggihnya sarana komunikasi dan interaksi. Perkembangan dan kemajuan pesat di bidang teknologi dan informasi memberikan dampak yang amat besar terhadap proses komunikasi dan interaksi tersebut. Era globalisasi sering pula dinyatakan sebagai era yang penuh dengan tantangan dan peluang untuk saling bekerja sama. 

Kita sekarang dihadapkan kepada dua dimensi kepemimpinan, antara kepemimpinan islam, dan kepemimpinan barat, islam telah memberi gambaran nyata akan keberhasilannya dalam memimpin suatu oraganisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi kita muhammad saw. Akan tetapi disisi lain orientalis-orientalis barat dengan berbagai teorinya yang ilmiah mencoba mengalihkan perhatian masyarakat dari kepemimpinan islam, dan berpaling terhadap kepemimpinan yang ditawarkan oleh orang-orang barat yang jelas-jelas bertentangan dengan kepemimpinan dalam islam. Walaupun tidak seluruhnya bertentangan dengan kepemimpinan islam, akan tetapi ini bisa menjadi penyebab bagi ummat untuk meninggalkan aturan-aturan islam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah kepemimpinan itu dan apa fungsinya?
2. Apakah ciri-ciri kepemimpinan menurut islam?
3. Bagaimanakah konsep Kepemimpinan menurut Islam?
4. Apa saja syarat seorang pemimpin menurut Islam?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.
 
Pemimpin dalam pandangan Al-Qur’an sebenarnya adalah pilihan Allah swt, bukan pilihan dan kesepakatan manusia sebagaimana yang dipahami dan dijadikan pijakan oleh umumnya umat Islam. Pilihan manusia membuka pintu yang lebar untuk memasuki kesalahan dan kezaliman. Selain itu, kesepakatan manusia tidak menutup kemungkinan bersepakat pada perbuatan dosa, kemaksiatan dan kezaliman. Hal ini telah banyak terbukti dalam sepanjang sejarah manusia.[1]
 
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[2]
 
Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
 
[3](9) يُحَافِظُونَاتِهِمْصَلَوَعَلَىٰهُمْوَالَّذِينَ (8)رَاعُونَهِمْوَعَهْدِلِأَمَانَاتِهِمْهُمْوَالَّذِينَ
 
Artinya : "dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya." (QS.Al Mukminun 8-9)[4]

2.2 Fungsi Kepemimpinan Menurut Islam

Fungsi pemimpin yakni:
a) Membangkitkan minat dan perhatian yang tinggi kepada bawahan tentang tugasnya.
b) Menyampaikan ide, gagasan, trobosan kepada yang lain.
c) Mempengaruhi serta menggerakkan orang lain untuk mengikuti apa yang telah diarahkan.
d) Menciptakan perubahan secara efektif.[5]

2.3 Ciri-ciri Pemimipinan Menurut Islam

Pemimpin dalam islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya :
a) Niat yang ikhlas
b) Laki-laki
c) Tidak meminta jabatan
d) Berpegang dan konsistan pada hukum Allah
e) Memutuskan perkara dengan adil
f) Senentiasa ada ketika diperlukan
g) Menasehati rakyat
h) Tidak menerima hadiah
i) Mencari pemimpin yang baik
j) Lemah lembut
k) Tidak meragukan rakyat
l) Terbuka untuk menerima idea dan kritikan[6] 

Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah kepemimpinan ini setelah wafatnya Baginda Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan keutamaan dalam melantik pengganti beliau dalam memimpin umat Islam. Umat Islam tidak seharusnya dibiarkan tanpa pemimpin. Sayyidina Umar R.A pernah berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa taat”. 

Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini, meskipun Indonesia bukanlah negara Islam. Allah SWT telah memberi tahu kepada manusia, tentang pentingnya kepemimpinan dalam islam, sebagaimana dalam Al-Quran kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: 

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al Baqarah: 30) 

Ayat ini mengisyaratkan bahwa khalifah (pemimpin) adalah pemegang mandate Allah SWT untuk mengemban amanah dan kepemimpinana langit di muka bumi. Ingat komunitas malaikat pernah memprotes terhadap kekhalifahan manusia 

dimuka bumi. ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59) Ayat ini menunjukan ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) harus dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT dan rasulnya.[7]

2.4 Syarat-Syarat Kepemimpinan Menurut Islam

Kholifah lebih identik dengan kepemimpinan negara Islam sedangkan presiden lebih identik dengan sitem kepemimpinan negara sekuler. Sehingga terkait kepemimpinan dalam makalah ini, penulis lebih mengarah kepada kholifah yang identik sebagai sistem kepemimpinan negara islam. Adapun kreteria kholifah adalah sebagai berikut:
a) Tidak ambisius menjadi kholifah
b) Harus beraqidah murni
c) Taat beribadah
d) Berakhlak mulia
e) Istiqomah dalam pendirianya
f) Rela berkorban demi islam
g) Memiliki ilmu yang luas, khususnya tentang syareat Islam.[8]

2.5 Konsep kepemimpinan Islam

Konsep merupakan cara pandang yang menjadi dasar landasan pemikiran. Konsep kepemimpinan adalah konsep yang dimiliki oleh ajaran islam dalam memandang kepemimpinan, kepemimpinan dalam islam memandang dan mencakup beberapa Aspek:

a) Aspek pengaruh.

Dalam ajaran islam, pemimpin yang tidak memiliki pengaruh akan menyebabkan hilangnya kepercayaan umat pada pemimpin tersebut. Bisa menjadi contoh yaki kholifah Abu Bakar, Umar Bin khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib.

b) Aspek Kerohanian,

Selain sebagai pemimpin umat, seorang pemimpin juga memilki kedudukan sebagai pemimpin agama, hal demikian ini bisa ditunjukkan bagaimana Nabi Muhammad SAW, beliau adalah seorang pemimpin rakyat dilain sisi beliau juga seorang pemimpin Agama.

c) Aspek karasteristik.

Aspek yang digunkan untuk menilai kepemimpinan seseorang, meliputi karakter pemimpin baik maupun buruk.[9]

2.6 Prinsip Kepemimpinan Menurut Islam

Islam dalam mengatur sistem negara hanya mengenal “kedaulatan Tuhan” sebagai kedaulatan tertinggi dalam negara. Ketentuan ini tertuang dalam firman-Nya yang berbunyi : 

[10](1)تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
 
Artinya: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Mulk: 1) [11]

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. 

menyatakan bahwa dalam menjadi pemimpin di muka bumi maka manusia harus bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.

3.2 SARAN

Dalam kehidupan kita sering sekali mendengar tentang kepemimpinan ataupun pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat. Baik melalui media cetak, media elektronik maupun di suatu organisasi di sekitar kita. Namun, masih banyak masyarakat yang tidak atau kurang paham secara benar mengenai kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini bertujuan untuk membantu memberikan informasi, membantu memahami tentang kepemimpinan dan dapat menambah pengetahuan si pembaca agar kedepannya kita menjadi mahasiswa yang benar-benar siap pakai di kalangan masyarakat maupun dunia kerja.

DAFTAR PUSTAKA

<http://www.blogger.com/pageedit.g?blogID=1521262090721820796#_ftnref6>http://tafsirtematis.wordpress.com
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
http://sultonimubin.blogspot.co.id/2012/12/al-muminun-ayat-1-10-dan-terjemah.html
http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/01/konsep-kepemimpinan-dalam-perspektif-al.html
http://hanierahanif.blogspot.co.id/2014/06/kepemimpinan-menurut-pandangan-agama.html
<http://www.blogger.com/page-edit.g?blogID=1521262090721820796#_ftnref7>http://www.facebook.com/notes/baitul-izzah/ciri-ciri-pemimpin-menurut-islam/175457053567
Kepemimpinan dalam Islam Menurut Al Quran dan Hadist _ Sip Online.htm
http://hanierahanif.blogspot.co.id/2014/06/kepemimpinan-menurut-pandangan-agama.html
http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-mulk-ayat-1-11.html
http://kepemimpinandalamislam.blogspot.co.id/

-------------------------------------------------------------------------------------------
[1]<http://www.blogger.com/page edit.g?blogID=1521262090721820796#_ftnref6>http://tafsirtematis.wordpress.com

[2] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

[3] http://sultonimubin.blogspot.co.id/2012/12/al-muminun-ayat-1-10-dan-terjemah.html

[4] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/01/konsep-kepemimpinan-dalam-perspektif-al.html

[5] http://hanierahanif.blogspot.co.id/2014/06/kepemimpinan-menurut-pandangan-agama.html

[6]<http://www.blogger.com/page-edit.g?blogID=1521262090721820796#_ftnref7>http://www.facebook.com/notes/baitul-izzah/ciri-ciri-pemimpin-menurut-islam/175457053567

[7] Kepemimpinan dalam Islam Menurut Al Quran dan Hadist _ Sip Online.htm

[8] http://hanierahanif.blogspot.co.id/2014/06/kepemimpinan-menurut-pandangan-agama.html

[9] http://hanierahanif.blogspot.co.id/2014/06/kepemimpinan-menurut-pandangan-agama.html

[10]http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-mulk-ayat-1-11.html [11] http://kepemimpinandalamislam.blogspot.co.id/
 
 
 
 

Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya

KATA PENGANTAR

Pujisyukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nyas ehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar ini.
 
Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk lebih memahami tentang wawasan serta pengetahuan kita mengenai“MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA”.. Pada kesempatan kali ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dosen Drs.Yuharuddin.M.Si, serta kepada seluruh pihak yang telah ikut membantu guna penyelesaian makalah ini. Kami sangat menyadari makalah ini masih belum menemukan kata sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna hasil yang lebih baik lagi. 

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan bagi semua nya, semoga apa yang kami bahas disini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan teman – teman semua. Terima kasih.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk budaya yang berkemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia menciptakan kebudayaan. 

Hakikat manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial. Pada hakikatnya manusia bisa dilihat sebagai makhluk pribadi, sedangkan di sisi lain dipandang sebagai makhluk sosial. Paham individualisme memandang bahwa manusia semata-semata sebagai makhluk pribadi dengan mengesampingkan kodratnya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia akan berinteraksi dengan manusia lain dalam wujud interaksi sosial. Sebagai makhluk pribadi dan sosial manusia akan menghadapi dilema dalam kerangka pemenuhan kebutuhan antara kepentingan diri dan kepentingan masyarakat.

Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu Negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari suatu Negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu bangsa.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Pembaca diharapkan mampu mengetahui pengertian manusia dan budaya.
2. Mengetahui tentang memanusiakan manusia melalui pemahaman konse-konsep dasar manusia.
3. Mengetahui tentang problematika kebudayaan.
4. Serta mengetahui hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial.

1.3 . Rumusan Masalah

1. Mampu menjelaskan pengertian manusia dan budaya.
2. Mampu menunjukkan sikap hormat dan menghargai sesama manusia.
3. Memberikan contoh problema kebudayaan dewasa ini.
4. Menganalisis hakikat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manusia

Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. 

Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri.

2.2 Definisi Budaya

Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. 

Definisi budaya dalam pandangan Ahli-ahli antropologi merumuskan definsi budaya sebagai berikut:
1. Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
2. Kluckhohn dan Kelly: 1945 berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. 

Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar. 

Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1. wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup.
2. aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret.
3. Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.

2.3 Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa dan arsitektur merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi. 

Hommes mengemukakan bahwa, informasi IPTEK yang bersumber dari sesuatu masyarakat lain tak dapat lepas dari landasan budaya masyarakat yang membentuk informasi tersebut. Karenanya di tiap informasi IPTEK selalu terkandung isyarat-isyarat budaya masyarakat asalnya. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa, karena perbedaan-perbedaan tata nilai budaya dari masyarakat pengguna dan masyarakat asal teknologinya, isyarat-isyarat tersebut dapat diartikan lain oleh masyarakat penerimanya. 

Disinilah peran manusia sebagai makhluk yang diberi kelebihan dalam segala hal, untuk dapat memanfaatkan segala fasilitas yang disediakan oleh Allah SWT melalui alam ini. Sehingga dengan alam tersebut manusia dapat membentuk suatu kebudayaan yang bermartabat dan bernilai tinggi. Namun perlu digaris bawahi bahwa setiap kebudayaan akan bernilai tatkala manusia sebagai masyarakat mampu melaksanakan norma-norma yang ada sesuai dengan tata aturan agama. JJ. Hoeningman membagi kebudayaan dalam 3 wujud : 

1. Gagasan : Kebudayaan yang berbentuk kumpulan, ide, gagasan,nilai,norma, peraturan yang sifatnya abstrak.
2. Aktivitas (tindakan) : Wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat., sering disebut sebagai system sosial, yaitu aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu.sifatnya konkret dapat diamati.
3. Artefak ( karya) : Wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba dan dilihat.
 

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari sekian banyak uraian diatas, maka penulis bisa mengambil kesimpulan yaitu : Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Budaya merupakan perwujudan dari ide dan gagasan manusia. Sedangkan kebudayaan adalah kristalisasi dari berbagai pemikiran manusia. Sehingga tingkat kebudayaan suatu bangsa akan berbanding lurus dengan tingkat pemikiran dan peradaban bangsa tersebut. Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan yaitu manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan Khalifah di muka bumi dan diberikan kemampuan. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensi, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi, dan perilaku.

3.2 SARAN

Dalam penulisan makalah ini penulis ingin menyarankan kepada pembaca diantaranya sebagai berikut : 

Makalah ini berisi materi dari kajian pustaka yang bertujuan untuk menambah wawasan dan sebagai acuan dalam pembelajaran. Namun, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai mana manusia yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://evarahayue.blogspot.co.id/2012/10/makalah-isbd-manusia-sebagai-makhluk.html
https://www.academia.edu/9582501/MAKALAH_ILMU_SOSIAL_BUDAYA_DASAR_MANUSIA_SEBAGAI_MAKHLUK_BUDAYA_SEP_26_Posted_by_ANGGA_MAKALAH_ILMU_SOSIAL_BUDAYA_DASAR_Tentang_MANUSIA_SEBAGAI_MAKHLUK_BUDAYA
http://rieffraff.blogspot.co.id/2015/03/makalah-isbd-manusia-sebagai-makhluk.html
 
 
 
 

Makalah Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Islam

KATA PENGANTAR

Pujisyukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nyas ehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Agama Islam ini. 

Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk lebih memahami tentang wawasan serta pengetahuan kita mengenai ekonomi dan kesejahteraan umat dalam islam, Sistem ekonomi Islam, Tujuan Ekonomi Islam, Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi islam. 

Pada kesempatan kali ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dosen Surohim M.Ag, serta kepada seluruh pihak yang telah ikut membantu guna penyelesaian makalah ini. Kami sangat menyadari makalah ini masih belum menemukan kata sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna hasil yang lebih baik lagi. 

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan bagi semua nya, semoga apa yang kami bahas disini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan teman – teman semua. Terima kasih.
 
 
 
Bengkulu, 16 Desember 2015

Kelompok 7

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kata sejahtera memiliki beberapa arti. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada keadaan yang baik; kondisi saat orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan hidup yang makmur. Dalam ekonomi, kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang menjadi landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan capaian-capaian material ( misalnya produk domestic bruto perkapita), walaupun mereka berbeda tentang cara distribusinya. 

Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni: 

1. Terlindung kesucian agamanya
2. Terlindung keselamatan dirinya
3. Terlindung akalnya
4. Terlindung kehormatannya
5. Terlindung hak milik/hak ekonominya.[1][1] 

Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi. Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menentukan dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera seperti itu akan bertahan lama atau berlaku secara universal.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem ekonomi Islam

Sesuai dengan namanya – adalah suatu sistem ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dalam hal ini Al-Quran dan Al-Hadis sebagai sumber utamanya. Sistem ekonomi Islam bukanlah suatu sistem yang setengah-setengah. Artinya sistem ekonomi Islam tidak hanya menunjukkan bagaimana cara untuk melakukan kegiatan perekonomian agar menguntungkan pelaku ekonomi tersebut, tetapi juga prinsip-prinsip Islami yang melandasi setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan para pelaku ekonomi. Prinsip-prinsip relijius itu menjadi faktor yang amat penting karena berlandaskan ajaran dan prinsip Islam-lah sistem ekonomi Islam dibangun. Jadi Islam sebagai agama tidak hanya mengatur masalah tauhid, ibadah, dan akhlaq, tetapi juga muamalah atau implementasi ajaran Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmat kepada alam semesta ini dan tujuan umat muslim agar selamat dunia akhirat.Oleh karena itu, dalam mencari kemakmuran dan nafkah di dunia ini, melalui kegiatan ekonomi, umat Islam harus memperhatikan syariah yang telah digariskan Al-Quran dan Al-Hadis. Islam tidak mencegah orang untuk menjadi kaya berkat usahanya, namun perlu diingat dalam mencapai kekayaan tersebut haruslah sesuai dengan syariah Islam dan menimbun kekayaan serta menghambur-hamburkan uang bukanlah perbuatan yang Islami. Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap kekayaan umat Islam ada sebagian yang dimiliki umat Islam. Hal ini menjamin kepemilikan pribadi namun di sis lain juga menjamin terjadinya distribusi pendapatan yang merata. Hal ini yang tidak ditemukan dalam sistem ekonomi lain, baik kapitalis atau sosialis.Berangkat dari prinsip-prinsip Islam tersebut sistem ekonomi Islam di-rancang bangun. Bandingkanlah dengan sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Prinsip ekonomi demikian, dipergunakan oleh pedagang dan pengusaha yang mencari keuntungan, serta konsumen untuk mendapatkan sisa guna sebesar-besarnya melebihi biaya yang dikeluarkan dan kemampuannya. Prinsip ekonomi kapitalis pada akhirnya cenderung menyebabkan seseorang untuk berlaku rakus dan tamak terhdap pencarian keuntungan dan pemenuhan kebutuhan. Pada tataran seperti inilah sistem ekonomi kapitalis dibangun. Termasuk analisis keseimbangan pareto optimum.

Dalam analisis kesimbangan alokasi efisien individu atau perusahaaan akan efisien jika sudah memaksimalisasi utilitas (atau faktor produksi)-nya. Padahal menurut sistem ekonomi Islam manusia dituntut untuk tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah dengan berlebihan. Jadi, penerapan analisis alokasi efisiensi pareto, yang dibangun dari funsi utilitas (indifference curve) dan production possibility curve function, akan menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.

A. Pengertian Sistem Ekonomi Islam

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalamrukun iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)

Tujuan Ekonomi Islam

Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat. Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
• keselamatan keyakinan agama ( al din)
• kesalamatan jiwa (al nafs)
• keselamatan akal (al aql)
• keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
• keselamatan harta benda (al mal)

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2.Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3.Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk. 

Adapun Secara umum dan ringkas, sistem ekonomi Islam dibangun atas prinsip-prinsip berikut:

1. Alam ini mutlak milik Allah SWT

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”(QS. Thoha: 6)

2. Alam merupakan nikmat karunia Allah yang diperuntukkan bagi manusia untuk dimanfaatkan

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS Luqman: 20)

3. Alam karunia Allah ini untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-batas ketentuan

“…pakailah pakaianmu yang indah di setiap majid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

4. Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yang halal dan hanya boleh dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya…” (QS Al-Baqarah: 267)

5. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia

“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)

6. Di dalam hata orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir, dan lain sebagainya

“Dan pada harta-harat mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS Adz-Dzariyat: 19)

2.2 Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi islam

Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu. Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat. Kerugian yang besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, hanya yang lebih kecil harus dapat diterima atau diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mandapatkan manfaat yang lebih besar. 

Kesejahteraan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang lain. Jadi menurut Al-Qur’an kesejahteraan meliputi faktor:
1. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
2. Nilai-Nilai Sistem Perekonomian.
3. Keadilan Distribusi Pendapatan.

Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Perbincangan tentang prinsip moral tersebut dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup: 

Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melampaui batas. Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik, adil, saling menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT. 

Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya.[2][6] Dengan demikian orientasi ekonomi islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah SWT. 

Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup manusia, sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan apa saja, agar pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi secara baik, menjadi kata kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan hidup secara baik. 

Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan persoalan pemberdayaannya kepada manusia karena mereka yang lebih tahu urusan dunianya. 

Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan terhadap urusan hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah digariskan Allah SWT. 

Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap aktivitas kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain:
1. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2. Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3. Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
4. Terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemaslahatan dan kesejahteraan umat. 

Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1. Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
2. Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
3. Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
4. Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta. 

Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak dimiliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manusia untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis islam.

 

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

· Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat secara sistem hukum, sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya. 

· Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya. 

· Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap harta yang dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu memakan/merampas harta orang lain.

3.2 KRITIK DAN SARAN

Saya sebagai makhluk biasa tidak lepas dari kesalahan, untuk itu saya mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca demi berkembangnya ilmu pengetahuan.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://hafiedrachmawan.blogspot.co.id/2011/08/ekonomi-islam-dan-kesejahteraan-umat.html 
http://azwarammar.blogspot.co.id/2014/03/membangun-kesejahteraan-umat.html · http://childrenofsyariah.blogspot.co.id/2013/06/konsep-kejahteraan-ekonomi-dalam.html
 
 
 
 

Saturday, January 7, 2017

MAKALAH TENTANG METODE PEMAHAMAN HADITS

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya kepada kami, yang pada kesempatan kali ini kami dapat menuangkan tinta untuk mengukir ilmu pengetahuan yang sangat di butuhkan dan semoga dapat bermanfaat bagi penulis serta semoga pula bermanfaat bagi pembaca.

Sholawat serta salam marilah selalu dan selalu kita hadirkan keharibaan Rasulullah muhammad SAW sebagai uswah al-hasanah yang senantiasa di harapkan syafaatnya di hari kiamat.

Tidak lupa kami sampaikan banyak terima kasih kepada Bpk. Didi Junedi, MA Selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits, untuk ridho dan barokah dari beliau sangat kami harapkan menuju jalan ilmu yang manfaat. Terimah kasih juga atas semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.

Kami sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah atau ilmu ini bisa lebih senpurna dan bermanfaat bagi penulis, terlebih lagi bermanfaat bagi pembaca..Amin.

Brebes, Desember 2012


Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Pada saat ini, saat di mana peradaban dan kebudayaan menuju ke arah kemodernan yang ditandai dengan munculnya teknologi yang serba canggih, mulai dari sains sampai pada teknologi informatika. Agama Islam, sesungguhnya mendapatkan ujian berat. Di satu pihak, Islam sebagai agama universal dan diklaim sebagai pengatur selurh aspek kehidupan, dituntut untuk selalu relavan dengan kemodernan tersebut. Sementara di pihak lain, Islam juga dituntut untuk tidak kehilangan jati dirinya sebagai aturan Allah yang sakral.

Untuk itu muncul pertanyaan, memadaikah pendekatan yang selama ini berkembang di kalangan ulama atau pemikir untuk memahami Islam – terutama dalam hal al-Hadits – agar senantiasa sejalan dan mampu memberikan penyelesaian terbaik terhadap persoalan umat manusia yang senantiasa terus berkembang? Pertanyaan inilah yang – antara lain – mendorong para pemikir untuk mencari “pendekatan-pendekatan baru” untuk memahami Islam dari sumber al-Sunnah.

Maka, jika kaum muslimin mencari kebenaran terhadap pemahaman sebuah hadis, mereka bukan hanya harus mengkaji melalui pendekatan tekstual semata, melainkan juga semua cara-cara yang dengannya kebenaran itu dirasakan, dipahami, dielaborasi, dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi, dan dihayati dalam konteks, waktu dan ruang geografis tertentu. Untuk itu mereka memerlukan metode modern seperti pendekatan antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang lain.[1][1]

Di antara pendekatan modern yang dapat digunakan dalam memahami hadis adalah pendekatan ilmiah dan pendekatan filosofis. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pendekatan ini, penulis mengangkat sebuah kajian dalam bentuk makalah yang berjudul: “Metode2 Pemahaman Hadis”.

BAB II

PEMBAHASAN

A. METODE PEMAHAMAN HADIS MODERNIS

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang metode pemahaman hadis modernis, ada beberapa istilah penting yang perlu dijelaskan dalam pembahasan ini, seperti: “metode” dan “modernis”.

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[2][2] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn tharîqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3][3]

Adapun kata “modernis”, dilihat dari akar kata, merupakan bentukan dari kata “modern” ditambah akhiran “is”. Term “modern” berasal dari bahasa Latin “moderna” yang berarti “sekarang, baru, atau saat ini”. Atas dasar itu, manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.[4][4] Sedangkan akhiran “is” setelah kata “modern” menyatakan makna “memiliki sifat”.[5][5] Jadi, dapat disimpulkan bahwa modernis berarti sesuatu yang bersifat kekinian. Jadi secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa metode pemahaman hadis modernis merupakan cara atau langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam memahami hadis Nabi melalui sudut pandang kekinian.

Dalam sejarah Islam, periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-19, yang ditandai dengan mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dunia Islam. Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.[6][6]

Solusinya, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Dalam pemahaman hadis misalnya, ajaran dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi modern. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran hadis ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.

Kebutuhan akan sebuah metode pemahaman hadis yang bersifat modernis mutlak dilakukan dengan berbagai metode pendekatan, di antaranya adalah metode pendekatan ilmiah dan metode pendekatan filosofis (prinsip maslahah). Kajian tentang pendekatan ilmiah dan filosofis ini akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.

B. MEMAHAMI HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN ILMIAH

Pendekatan ilmiah terdiri dari dua variabel kata, yaitu “pendekatan” dan “ilmiah”. Kata “pendekatan” secara bahasa berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai pengertian tentang penelitian.[7][7] Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti pendekatan.

Pendekatan juga berarti suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah.[8][8] Maka dapat dipahami bahwa pendekatan yang dimaksud di sini adalah cara pandang, orang juga sering menyamakannya dengan paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu,[9][9] yang selanjutnya digunakan dalam memahami hadis.

Sedangkan kata “ilmiah” berasal dari kata “ilmu” yang berarti kumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistemik.[10][10] Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara tertib oleh manusia.[11][11] Jadi secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa pendekatan ilmiah adalah cara pandang terhadap pemahaman hadis melalui pertimbangan-pertimbangan yang logis dan sistematis (berdasarkan ilmu pengetahuan).[12][12]

Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[13][13]

Dengan pendekatan melalui ilmu pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[14][14]

Pendekatan ilmiah dapat digunakan untuk mengkompromikan hadis-hadis yang terkesan bertentangan dengan rasio, seperti yang terdapat pada hadis-hadis berikut:

1) Hadis tentang Lalat

سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً». [15][15]

“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.

Hadis ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.

Namun sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah SAW ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[16][16]

Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[17][17]

2) Hadis tentang Larangan Senggama Waktu Haid

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا حَكِيمٌ الأَثْرَمُ عَنْ أَبِى تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِىِّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ أَتَى حَائِضاً أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ».

“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang diturunkan kepadanya (Islam)”.

Menghentikan persetubuhan selama haid bagi setiap negara, dan bagi banyak pengikut agama, sudah menjadi adat kesusilaan dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu tercemar selama ia dalam kondisi haid. Dalam dunia wanita sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang dibuat oleh perempuan haid tidak mau mengembang, dan bahwa asinan atau acar yang dibuatnya dapat menjadi busuk. Dapatkah “ketercemaran” perempuan haid itu dibuktikan oleh penelitian ilmu pengetahuan yang akurat?

Dr. Med. Ahmad Ramali, seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa dalam benda cair haid itu terdapat Coccus Neisser. Zat ini bersifat virulent (dapat membangkitkan kembali penyakit), dan karena itu ia menjadi penyebab timbulnya penyakit. Sehingga ada kemungkinan pula bahwa dia bersama-sama dengan sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung kemih) yang mendadak pada laki-laki.[18][18]

Pada perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan batin yang goncang selama haid, ada pula keadaan-keadaan badan seperti berikut ini:

Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio (darah berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal ini acap kali berulang.

Dari pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matan hadis dapat dipahami dan didekati dari berbagai pendekatan. Dengan demikian untuk menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi paradigma sains modern tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.

C. MEMAHAMI HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN FILOSOFIS (PRINSIP MASLAHAH)

Pendekatan filosofis terdiri dari dua variabel kata, yaitu: “pendekatan” dan “filosofis”. Kata “pendekatan” sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Sedangkan kata “filosofis” berasal dari kata filosofi ditambah dengan akhiran “is”. Kata filosofi sendiri berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Kata filosofi dalam bahasa Indonesia sama dengan kata filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, filsafat berarti “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya”. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.[19][19]

Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[20][20] Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”, filsafat baginya adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.[21][21]

Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[22][22] Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan lain-lain. Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif (seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[23][23] Siapa pun yang bergerak pada wilayah “applied sciences” pada dasarnya harus dibekali persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh “pure sciences”, sedang yang bergerak pada wilayah “pure sciences”, tidak harus tahu dan menjadi expert pada setiap wilayah “applied sciences”.[24][24] Cara berpikir dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat keilmuan, open-ended, terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.

Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Oleh sebab itu, pendekatan filosofis adalah upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu di balik formanya.[25][25]

Pendekatan filosofis ini, bukanlah hal baru dalam wacana Islam. Ushul Fiqh sebagai metode memahami kitab suci dan khazanah Islam yang ditulis dalam bahasa Arab, senyatanya, bisa disebut sebagai kajian filosofis. Sebab di dalam Ushul Fiqh terdapat pembahasan Qiyas (analogi) yang cara kerjanya lebih luas dan sistematik dari metode logika yang ditawarkan Aristoteles, misalnya. Di samping itu, terdapat pula kaidah-kaidah syari`ah yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan formal. Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut dengan prinsip mashlahah.[26][26]

Mashlahah (المصلحة) secara bahasa dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mashlahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah (المفسدة) dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madharrah (المضرّة), yang mengandung arti “kerusakan”.[27][27] Oleh karena itu, perbincangan mengenai maslahah berkisar pada penekanan mendapatkan kebaikan atau manfaat, dan menghilangkan mudarat atau kerusakan.

Sedangkan maslahah secara istilah, ulama Ushûl al-Fiqh telah memberikan defenisi yang hampir sama satu sama lain. Di antaranya seperti yang dikatakan oleh al-Ghazâlî sebagai berikut:

لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع، ومقصود الشرع من الخلق خمسة، وهو أن يحفظ عليهم دينهم، ونفسهم، وعقلهم، ونسلهم، ومالهم. فكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعه مصلحة. [28][28]

“Maslahah adalah memelihara tujuan syarak, yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka semua yang mengabaikan pemeliharaan tujuan syarak yang lima ini adalah mafsadah, dan semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syarak ini adalah maslahah.”

Dalam defenisi ini, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi dalam maslahah, yaitu:

1. Maslahah harus berada dalam ruang lingkup tujuan syarak, tidak boleh didasarkan atas keinginan hawa nafsu.

2. Maslahah harus mengandung dua unsur penting, yaitu meraih manfaat dan menghindarkan mudarat.

Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan prinsip maslahah, yaitu sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan, namun tetap saja terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut pandangan ahli filsafat, sebagaimana dikatakan al-Bûthî, maslahah bersifat keduniaan semata. Pertimbangan antara baik dan buruk menurut mereka adalah berdasarkan pengalaman dan panca indra saja. Pertimbangan tersebut berbeda dengan Islam yang meletakkan pertimbangan kepada kebaikan dunia dan akhirat secara serentak. Bahkan pandangan terhadap maslahah dunia bergantung kepada maslahah akhirat.[29][29]

Lebih jauh, pendekatan filosofis dapat memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlul/hadaf) yang terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa di sana disebutkan media (wasilah) sebagai wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis dengan pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.[30][30]

Untuk itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan media haruslah dibedakan dengan jelas. Ini disebabkan karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan universal. Tetapi media senantiasa berkembang dan terus berkembang. Dari sini, maka yang harus dijadikan pegangan adalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadis, karena media merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.[31][31]

Dalam pemahaman hadis Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah,[32][32] telah banyak ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusuf Qardhawy, Muhammad al-Ghazali, dan lain-lain. Berikut penulis kemukakan beberapa contoh hadis yang tidak dapat lagi dipahami melalui pendekatan linguistik semata, namun harus dipahami melalui pendekatan filosofis (prinsip mashlahah):

1) Hadis tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما، عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لا يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ، مَا بَقِىَ مِنْهُمُ اثْنَانِ».[33][33]

Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a., dari Nabi SAW, ia bersabda: “Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang”.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ، فَأَخَذَ بِعِضَادَتيِ الْبَابِ، فَقَالَ: الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ... [34][34]

Dari Anas, ia mengatakan: suatu ketika kami berada di rumah seorang laki-laki Anshâr, lalu Rasulullah SAW datang, hingga ia menghentikan langkahnya. Lalu ia membuka pintu seraya bersabda:“Pemimpin itu dari suku Quraisy…”

Dua hadis di atas menyatakan bahwa pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy. Ibnu Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan Khawārij, yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[35][35]

Pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan tentunya benar berlaku secara universal.

Apabila kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[36][36]

Dengan demikian maka diperlukanlah pemahaman secara filosofis bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[37][37]

2) Hadis tentang Siwak

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ».

“Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu berkata bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : jikalau tidak memberatkan akan umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat”.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ ».

“Diriwayatkan dari ‘Âisyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha”.

Tetapi apakah yang dimaksud dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang lain? Siwak adalah wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak untuk membersihkan mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah wasilah buatan seperti sikat gigi.

Sebagian ulama malah telah menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali disebutkan: “Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang tidak melukai dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau yang melukai dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah kayu delima, gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang bersiwak bukan dengan kayu. Syeikh Abdullah Bassem, peringkas kitab tersebut telah mengutip kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak dengan apa saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau jari-jari tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum tentangnya.[38][38]

Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa tujuan atau maksud dari hadis ini sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan siwak oleh Rasul, karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Karena itu, siwak dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan sama kedudukannya dengan siwak.[39][39]

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kajian secara komprehensif sangat diperlukan dalam memahami dan menangkap maksud sebuah hadits. Apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin modern, diperlukan metode pemahaman yang modern pula, seperti metode pendekatan ilmiah dan pendekatan filosofis.

2. Pendekatan ilmiah hadis merupakan pendekatan yang berusaha menyingkap pemahaman hadis melalui sudut pandang ilmu pengetahun (sains). Pendekatan ilmiah ini dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam. Nalar ilmiah tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya dan tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah merupakan pendekatan yang terbilang baru dan sulit, karena disamping harus menguasai ilmu hadis, seseorang yang akan melakukan penelitian hadis juga harus menguasai ilmu sains.

3. Pendekatan filosofis hadis merupakan pendekatan yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan formal dalam hadis. Pendekatan ini telah lama dilakukan oleh ulama ushul fiqh dengan prinsip “mashlahah”, yaitu prinsip yang mengedepankan manfaat dan menghindarkan mudarat. Pada mulanya pendekatan filosofis tidak digunakan, karena bertentangan dengan pemahaman tradisionalis-formalistik yang cenderung memahami agama terbatas pada aturan formalistik, tanpa meragukan makna filosofisnya. Namun seiring perkembangan zaman, pendekatan inipun mulai diterima dan digunakan dalam pemahaman hadis.

B. KRITIK DAN SARAN

Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, semoga dapat menambah wawasan keislaman bagi pembaca, terutama dalam bidang ilmu fiqh al-hadîts. Penulis menyadari makalah ini belumlah sempurna, masih terdapat kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu A’lam.




[1][1] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, (Jakarta: Mizan, 2000), hal. 171.

[2][2] Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 16.

[3][3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. ke-3, edisi ke-3, hal. 740.

[4][4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. ke-1, hal. 2.

[5][5] http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Sufiks. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2013.

[6][6] Harun Nasution, loc.cit.

[7][7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit.

[8][8] Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 27.

[9][9] Abuddin Nata, loc.cit., hal. 28.

[10][10] Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau kata-kata “pengetahuan” (knowledge) dan sistematik (systematic) didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan Teologis yang disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. ke-1, hal. 34.

[11][11] H.A. Reason, The Road Modern Science, (London: G. Bell and Science, 1959), cet. ke-3, hal. 1-2.

[12][12] Walaupun defenisi ini dirasa belum memuaskan, namun setidaknya defenisi ini dapat memberikan pengertian pendekatan ilmiah secara sederhana.

[13][13] Abdul Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang Iptek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, hal. 192.

[14][14] Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), cet. ke-1, hal. 221.

[15][15] Al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit., hal. 443.

[16][16] Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alâmah al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. ke-1, hal. 124.

[17][17] Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Kharisma, 1994), cet. ke-3, hal. 23.

[18][18] Ahmad Ramali, Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), cet. ke-2, hal. 206.

[19][19] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, loc.cit., hal. 414.

[20][20] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. ke-2, hal. 15.

[21][21] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet. ke-5, hal. 46.

[22][22] M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), cet. ke-1, hal. 8.

[23][23] Ibid.

[24][24] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. ke-1, hal. 13.

[25][25] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…op.cit, hal. 31.

[26][26] Ibid.

[27][27] Jamâlal-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab, (Riyâdh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), Juz II, hal. 348.

[28][28] Abû Hâmid Muhammad ibn al-Ghazâlî, al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), juz 1, hal. 286-287.

[29][29] Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, Dhawâbith al-Mashlahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1982), hal. 25.

[30][30] Disadur dari http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/ pada tanggal 21 Oktober 2013.

[31][31] Ibid.

[32][32] Dalam kajian ushûl al-fiqh, kajian tentang pendekatan filosofis telah banyak ditempuh oleh ulama, antara lain Imam al-Syâthibî melalui karyanya “al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah” atau yang dilakukan oleh Syekh ‘alî Ahmad al-Jurjawî melalui karyanya “Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu”. Di dalam buku-buku tersebut, pengarangnya berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah, tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh lainnya. Abuddin Nata, loc.cit.

[33][33] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim), (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), juz III, hal. 1452; Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), juz IV, hal. 234.

[34][34] Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M), hal. 129.

[35][35] Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.), hal. 114-118.

[36][36] Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.

[37][37] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 40.

[38][38] A. Najiyullah, Kajian Kritik HAdits Pemahaman Hadits, (Jakarta: Islamia Press, 1994), hal. 10.
[39][39] Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, diterjemahkan dari buku dengan judul asli “al-Madkhal li Dirâsah al-Sunnah al-Nabawiyyah”, (Jakarta: Islamuna Press, 1994), cet. ke-1, hal. 200.